Apa itu Populisme dan Apa Dampaknya Untuk Sebuah Negara ?
Wamena - Sebelum membahas apa itu populisme, pernah ga sih terpikir gimana cara pemimpin memenangkan suara rakyat di suatu negara ? Apakah program-program yang menyenangkan mayoritas masyarakat itu baik bagi sebuah negara?
Nah, diartikel kali ini saya akan membahas istilah populisme dalam demokrasi. Pendahuluannya sengaja saya buka dengan pertanyaan demikian karena populisme ini erat hubungannya dengan cara-cara seorang pemimpin untuk mencapai pucuk kekuasaan tertinggi.
Apa Itu Populisme?
Menurut KBBI populisme adalah “paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil”. Kedengarannya bagus ya karena memihak rakyat kecil.
Di dunia politik yang modern ini, populisme adalah salah satu cara untuk memenangkan suara rakyat yang merasa terabaikan atau tersisihkan, baik di negara demokrasi maupun otoriter.
Biasanya calon pemimpin ini akan memfokuskan kebijakannya untuk menarik suara dari kalangan tertentu terutama yang jumlahnya banyak. Dan ini bisa berkaitan dengan suku, ras, agama, golongan dan kelompok lainnya.
Sekilas cara ini dianggap baik, karena mementingkan suara dari kalangan terbanyak di masyarakat, padahal kalau kita amati, mereka melakukannya supaya mendapat dukungan suara alias dipilih.
Meskipun fokusnya untuk menyenangkan orang banyak, populisme ini sendiri sebenarnya tidak selalu baik untuk sebuah negara. Namun kita juga tahu pada akhirnya kalau mau jadi pemimpin suatu negara atau wilayah, harus mendapatkan dukungan seenggaknya setengah lebih dari total populasi. Nah disinilah titik permasalahannya, bagai buah simalakama, satu sisi kebijakan ini menyenangkan mayoritas masyarakat untuk jangka pendek, disisi lain ada efek buruk yang menanti untuk jangka panjangnya.
Baca juga: Sumber Dana Partai Politik: Antara Kepentingan Publik dan Transparansi di Pilkada Tolikara 2024
Dampak Kebijakan Populis Terhadap Sebuah Negara
Kita ambil contoh salah satu negara yang pemimpinnya melakukan kebijakan populis. Salah satu mantan presiden Venezuela, Hugo Chavez (1999-2013) terkenal dengan kebijakan populisnya. Chavez, yang saat itu memimpin sebagai kepala negara Venezuela, membuat kebijakan populis berupa subsidi besar-besaran untuk memangkas tingkat kemiskinan di kalangan rakyatnya.
Waktu itu, Venezuela seperti sedang berada di atas angin. Minyak bumi sebagai komoditas utama negara, membuat Chavez berani mengalokasikan dana yang besar untuk membiayai hidup rakyatnya. Jangankan subsidi bensin, biaya kesehatan, makanan, gaji, dan kehidupan lainnya pun disubsidi oleh pemerintah.
Chavez benar-benar dipandang sebagai pahlawan saat itu. Pemimpin yang benar-benar peduli dan cinta rakyat, terutama rakyat kecil. Sayangnya, kesuksesan ini nggak bertahan lama. Chavez terlalu sibuk menjadi pahlawan, dan nggak memikirkan matang-matang kebijakan ekonomi tersebut. Akibatnya, semua kebijakan ekonomi Chavez yang berlandaskan NIAT BAIK untuk menyejahterakan rakyat malah berbalik menjadi senjata makan tuan.
Kemiskinan dan kelaparan melonjak tinggi. Harga barang yang terus naik membuat semua orang menyerbu toko, semua orang berupaya menimbun bahan pokok karena takut harga naik lagi besok! Bayangkan saja, setiap hari bahkan setiap jam, harga beras, kentang, dan telur naik! Akibatnya industri perdagangan lumpuh, harga-harga barang melambung tinggi, mata uang bolivar jadi tidak berharga sama sekali.
Sekarang kebayangkan, bagaimana populisme bisa menghancurkan sebuah negara. Sampai disini dulu artikel kali ini dan sampai jumpa di artikel selanjutnya.