Teokrasi di Abad ke-21: Masih Relevankah Pemerintahan Berbasis Agama?
Wamena - Dalam peta politik dunia yang didominasi oleh demokrasi liberal dan sekularisme, konsep teokrasi, Sistem pemerintahan di mana otoritas tertinggi dianggap berasal dari Tuhan atau hukum agama sering kali dianggap sebagai relik masa lalu.
Namun, realitas geopolitik hari ini menunjukkan bahwa teokrasi bukan sekadar catatan kaki sejarah; ia adalah kekuatan hidup yang membentuk kebijakan global, hak asasi manusia, dan identitas nasional bagi jutaan orang.
Akar dan Definisi: Ketika Iman Menjadi Hukum
Secara etimologis, teokrasi berasal dari bahasa Yunani theos (Tuhan) dan kratein (memerintah). Dalam sistem ini, tidak ada pemisahan antara "Gereja/Masjid/Kuil" dan "Negara". Pemimpin negara biasanya merupakan pemuka agama yang dianggap memiliki mandat ilahi, atau setidaknya, hukum sipil negara tersebut sepenuhnya tunduk pada teks suci.
Berbeda dengan negara yang memiliki "agama resmi" (seperti Inggris dengan Gereja Anglikan), dalam teokrasi murni, konstitusi negara adalah kitab suci itu sendiri. Keputusan politik tidak hanya dinilai berdasarkan manfaat sosial-ekonominya, tetapi berdasarkan validitas religiusnya.
Baca juga: Budaya Politik Indonesia: Pengertian, Ciri, dan Jenisnya
Wajah Teokrasi Modern
Saat ini, dunia mengenal beberapa bentuk teokrasi yang masih bertahan dengan pengaruh besar:
- Republik Islam Iran: Pasca Revolusi 1979, Iran menerapkan sistem Velayat-e Faqih (Perwalian Ahli Fikih). Di sini, Pemimpin Agung memegang kendali atas militer, peradilan, dan media, memastikan bahwa seluruh kebijakan negara selaras dengan interpretasi hukum Syiah.
- Vatikan: Sebagai negara terkecil di dunia, Vatikan adalah teokrasi absolut yang dipimpin oleh Paus. Meskipun pengaruh teritorialnya kecil, pengaruh moral dan diplomatiknya menjangkau lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia.
- Arab Saudi: Meski merupakan monarki absolut, dasar hukum kerajaan ini sepenuhnya adalah Al-Qur'an dan Sunnah, menjadikannya salah satu implementasi teokrasi Islam paling konservatif di dunia, meskipun saat ini tengah mengalami moderasi di bawah visi pembangunan baru.
Ketegangan Antara Tradisi dan Modernitas
Salah satu tantangan terbesar sistem teokrasi di era digital adalah benturan dengan standar hak asasi manusia universal. Dalam banyak sistem teokratis, hukum agama yang dikanonisasi berabad-abad lalu sering kali bergesekan dengan konsep modern tentang kebebasan berekspresi, hak-hak perempuan, dan keberagaman orientasi seksual.
Di Iran, misalnya, gelombang protes yang dipicu oleh isu jilbab menunjukkan adanya keretakan antara generasi muda yang terhubung secara global dengan struktur kekuasaan klerikal yang kaku. Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental: Dapatkah sebuah pemerintahan yang berdasarkan hukum absolut Tuhan beradaptasi dengan masyarakat yang terus berubah?
Kelebihan yang Ditawarkan
Para pendukung teokrasi sering berargumen bahwa sistem ini memberikan stabilitas moral dan identitas yang kuat. Di tengah krisis makna dalam masyarakat sekuler yang materialistik, teokrasi menawarkan kompas moral yang tidak berubah-ubah berdasarkan tren politik jangka pendek.
- Kesatuan Visi: Kebijakan publik memiliki legitimasi spiritual yang tinggi, mengurangi fragmentasi sosial yang sering terjadi dalam persaingan partai politik di sistem demokrasi.
- Ketahanan Budaya: Teokrasi sering kali menjadi benteng pertahanan terhadap pengaruh luar yang dianggap merusak tatanan nilai lokal.
Baca juga: Demokrasi Deliberatif Adalah: Pengertian, Prinsip, dan Contohnya
Kritik dan Risiko Otoritarianisme
Namun, para kritikus dan ilmuwan politik memperingatkan risiko besar di balik "pemerintahan atas nama Tuhan". Masalah utamanya adalah akuntabilitas. Jika seorang pemimpin mengklaim bertindak atas nama otoritas ilahi, maka setiap kritik terhadap kebijakan pemerintah dapat dianggap sebagai penistaan terhadap agama.
Hal ini sering kali berujung pada penindasan terhadap kelompok minoritas agama dan pembungkaman oposisi politik. Tanpa adanya mekanisme checks and balances yang independen dari institusi agama, kekuasaan cenderung memusat dan menjadi absolut.
Masa Depan: Teokrasi di Persimpangan Jalan
Dunia sedang menyaksikan pergeseran menarik. Di satu sisi, ada tren sekularisasi di negara-negara Barat. Di sisi lain, kita melihat kebangkitan gerakan "populisme religius" di negara-negara demokrasi seperti India, Turki, bahkan Amerika Serikat, di mana batas antara agama dan negara mulai kabur kembali.
Teokrasi di masa depan mungkin tidak selalu tampil dalam bentuk klasiknya. Kita mungkin akan melihat "Teokrasi Hybrid", di mana institusi demokrasi tetap ada, namun norma-norma agama yang kaku secara perlahan menginfiltrasi hukum negara melalui jalur legislasi.
Teokrasi tetap menjadi salah satu eksperimen sosial tertua dan paling tahan lama dalam sejarah manusia. Ia adalah manifestasi dari kerinduan manusia untuk menyatukan kehidupan duniawi dengan keyakinan transenden. Namun, sejarah juga mengajarkan bahwa keberhasilan sebuah sistem pemerintahan apapun dasarnya tetap diukur dari kemampuannya memberikan keadilan, kesejahteraan, dan martabat bagi seluruh rakyatnya tanpa terkecuali.