Lambang Negara Indonesia: Sejarah, Makna, dan Unsur-Unsur Garuda Pancasila
Wamena - Lambang Negara Indonesia adalah Garuda Pancasila, simbol resmi negara yang merepresentasikan nilai-nilai luhur Pancasila, jati diri bangsa, serta persatuan Indonesia dalam keberagaman.
Lambang negara bukan sekadar identitas visual, melainkan cerminan ideologi, sejarah perjuangan, dan cita-cita nasional yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai simbol kenegaraan, Lambang Negara Indonesia memiliki kedudukan strategis dalam sistem ketatanegaraan.
Setiap unsur yang terdapat dalam Garuda Pancasila—mulai dari burung Garuda, perisai dengan lima lambang Pancasila, warna emas, jumlah bulu, hingga semboyan Bhinneka Tunggal Ika—dirancang dengan makna filosofis yang mendalam dan saling berkaitan.
Pengertian Lambang Negara Indonesia
Lambang Negara Indonesia merupakan simbol resmi yang menandai kedaulatan dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lambang ini digunakan dalam seluruh penyelenggaraan negara, baik di dalam negeri maupun dalam hubungan internasional, sebagai identitas formal bangsa Indonesia di mata dunia.
Secara konseptual, lambang negara mengandung nilai ideologis yang mencerminkan dasar negara, pandangan hidup, serta tujuan nasional. Dalam konteks Indonesia, lambang negara dirancang untuk merepresentasikan Pancasila sebagai dasar ideologi negara.
Oleh karena itu, setiap elemen visual dalam Garuda Pancasila bukan sekadar ornamen artistik, melainkan simbol nilai moral, sosial, dan politik yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lambang negara juga memiliki fungsi edukatif, yakni menanamkan nilai kebangsaan, nasionalisme, dan cinta tanah air kepada seluruh warga negara sejak usia dini.
Sejarah Penetapan Lambang Negara Indonesia
Sejarah penetapan Lambang Negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari proses pembentukan identitas nasional pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia memerlukan simbol-simbol kenegaraan yang mampu mempertegas kedaulatan, kepribadian bangsa, dan eksistensinya di tengah pergaulan internasional.
Konteks Pasca Proklamasi (1945–1949)
Pada masa awal kemerdekaan, perhatian pemerintah Indonesia lebih difokuskan pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman kembalinya kolonialisme serta konsolidasi pemerintahan nasional. Oleh karena itu, pembahasan mengenai lambang negara belum menjadi prioritas utama.
Baru setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan secara internasional melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir tahun 1949, pemerintah mulai memusatkan perhatian pada pembentukan simbol-simbol kenegaraan yang permanen, termasuk lambang negara.
Pembentukan Panitia Perancang Lambang Negara
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbadjaraka sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Berbagai rancangan diajukan dan dikaji secara mendalam. Penilaian tidak hanya dilakukan dari sisi estetika visual, tetapi juga dari aspek filosofis, historis, dan simbolik. Tujuannya adalah memastikan bahwa lambang negara tidak hanya indah dipandang, tetapi juga memiliki legitimasi ideologis yang kuat.
Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan Sultan Hamid II dipilih, terjadi beberapa perubahan yang dilakukan. Seperti perubahan pada pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno.
Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila.
Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
Penetapan Resmi Tahun 1950
Setelah melalui proses perancangan dan penyempurnaan, desain Garuda Pancasila akhirnya disepakati. Pada tanggal 11 Februari 1950 dalam sidang cabinet RIS, lambang negara secara resmi diperkenalkan dan ditetapkan sebagai Lambang Negara Indonesia.
Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno.
Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara.
Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.
Sejak saat itu, Garuda Pancasila digunakan secara resmi dalam dokumen negara, gedung pemerintahan, kegiatan kenegaraan, serta sebagai identitas Indonesia dalam hubungan internasional. Penetapan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara
Garuda Pancasila dipilih sebagai lambang negara karena memiliki makna simbolik yang kuat dalam sejarah dan budaya Nusantara. Dalam berbagai relief candi dan karya sastra klasik, Garuda digambarkan sebagai makhluk agung yang melambangkan kekuatan, keberanian, dan pelindung kebenaran.
Sebagai lambang negara, Garuda Pancasila digambarkan dalam posisi tegap dengan sayap mengembang. Postur ini melambangkan kesiapsiagaan bangsa Indonesia dalam menjaga kemerdekaan dan keutuhan wilayah NKRI.
Di dada Garuda terdapat perisai Pancasila, sedangkan pada cengkeraman kakinya terdapat pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Keseluruhan unsur tersebut membentuk satu kesatuan simbolik yang mencerminkan kekuatan negara, ideologi Pancasila, dan persatuan nasional.
Makna Burung Garuda dalam Lambang Negara
Burung Garuda melambangkan kekuatan, keagungan, dan kemerdekaan. Kepala Garuda yang menghadap ke kanan memiliki makna simbolis sebagai arah kebaikan dan kebenaran.
Dalam konteks heraldik (ilmu lambang), posisi menghadap kanan (dexter) dianggap lebih terhormat dan utama daripada kiri (sinister). Sayap yang mengembang menggambarkan semangat bangsa Indonesia untuk terus maju dan berkembang.
Cakar Garuda yang mencengkeram pita Bhinneka Tunggal Ika melambangkan keteguhan bangsa Indonesia dalam memegang prinsip persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman suku, agama, budaya, dan bahasa.
Makna Perisai dan Lima Lambang Pancasila

Perisai pada dada Garuda melambangkan perlindungan negara terhadap seluruh rakyat Indonesia. Di dalam perisai tersebut terdapat lima lambang sila Pancasila:
- Bintang emas melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa
- Rantai emas melambangkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
- Pohon beringin melambangkan Persatuan Indonesia
- Kepala banteng melambangkan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
- Padi dan kapas melambangkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Kelima lambang tersebut menunjukkan bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisahkan.
Makna garis hitam tebal di tengah-tengah perisai melambangkan garis khatulistiwa. Di mana Indinesia negara yang merdeka dan berdaukat dilintasi garis khatulistiwa
Makna Warna dan Jumlah Bulu Garuda
Warna emas pada tubuh Garuda melambangkan kejayaan, kemuliaan, dan kebesaran bangsa Indonesia. Warna ini mencerminkan harapan akan masa depan bangsa yang makmur dan bermartabat.
Warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantug, menggambarkan siklus dan jalinan kehidupan umat manusia dari awal mula penciptaan hingga akhir kehidupan. Warna alam untuk seluruh gambar lambang, menggambarkan semangat dan dinamika kehidupan di alam semesta
Jumlah bulu Garuda memiliki makna historis yang sangat penting karena melambangkan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945:
- 17 helai bulu pada masing-masing sayap
- 8 helai bulu pada ekor
- 19 helai bulu di bawah perisai
- 45 helai bulu di leher
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam Lambang Negara

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu.” Semboyan ini mencerminkan realitas bangsa Indonesia yang majemuk, namun tetap bersatu dalam satu negara dan satu ideologi, yaitu Pancasila.
Semboyan ini juga mengajarkan pentingnya toleransi, saling menghormati, dan hidup berdampingan secara damai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Baca juga: Ketahanan Nasional sebagai Fondasi Stabilitas Politik dan Demokrasi Indonesia
Penggunaan dan Penghormatan terhadap Lambang Negara
Penggunaan Lambang Negara Indonesia diatur secara resmi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pengaturan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan lambang negara.
Setiap warga negara berkewajiban menghormati lambang negara serta dilarang menggunakannya secara tidak semestinya atau merendahkan martabatnya. Penghormatan terhadap lambang negara merupakan bagian dari sikap cinta tanah air dan kesadaran bernegara.
Konteks Penggunaan yang Keliru dan Sanksi terhadap Pelanggaran Lambang Negara
Meskipun Lambang Negara Indonesia dilindungi dan dihormati secara hukum, dalam praktik masih ditemukan berbagai bentuk penggunaan yang keliru atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai contoh pelanggaran dan sanksinya menjadi penting agar masyarakat tidak melanggar hukum secara tidak sadar.
Beberapa bentuk penggunaan Lambang Negara Indonesia yang tergolong keliru dan dilarang antara lain:
- Menggunakan Lambang Negara untuk kepentingan komersial, seperti pada iklan, produk dagang, atau promosi usaha tanpa izin resmi dari pemerintah.
- Memodifikasi bentuk, warna, atau proporsi Garuda Pancasila, termasuk menambahkan tulisan, logo, atau simbol lain yang mengubah keaslian lambang negara.
- Menggunakan Lambang Negara secara tidak pantas atau merendahkan, misalnya dicetak pada benda yang tidak layak, dijadikan bahan lelucon, atau digunakan dalam konteks yang bertentangan dengan norma kesusilaan.
- Menempatkan Lambang Negara tidak sesuai ketentuan, seperti posisi lebih rendah dari simbol lain dalam acara resmi atau pemasangan yang tidak hormat.
- Menggunakan Lambang Negara tanpa otoritas dalam kegiatan politik, organisasi, atau publikasi yang dapat menimbulkan kesan dukungan resmi negara.
Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut sering terjadi karena kurangnya pemahaman hukum, bukan semata-mata niat buruk. Namun demikian, ketidaktahuan tidak menghapus tanggung jawab hukum.
Jenis Sanksi atas Pelanggaran Lambang Negara
Penggunaan Lambang Negara Indonesia diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Undang-undang ini menetapkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan penggunaan lambang negara dapat dikenai sanksi pidana maupun administratif, tergantung pada jenis dan tingkat pelanggaran.
Secara umum, sanksi yang dapat dikenakan meliputi:
- Pidana kurungan
- Denda
- Larangan penggunaan atau penarikan materi yang melanggar
- Sanksi administratif bagi lembaga atau badan hukum
Pemberlakuan sanksi ini bertujuan untuk menjaga kehormatan, martabat, dan kewibawaan Lambang Negara Indonesia sebagai simbol kedaulatan negara, bukan semata-mata untuk menghukum.
Makna Edukatif dari Pengaturan Sanksi
Pengaturan larangan dan sanksi terhadap penggunaan Lambang Negara Indonesia memiliki makna edukatif yang penting.
Ketentuan ini mengajarkan bahwa lambang negara bukan simbol bebas pakai, melainkan representasi kehormatan negara yang harus diperlakukan secara hormat, bertanggung jawab, dan sesuai hukum.
Dengan memahami konteks pelanggaran dan sanksinya, masyarakat diharapkan lebih sadar hukum dan mampu menempatkan Lambang Negara Indonesia secara tepat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kedudukan Lambang Negara dalam Pendidikan dan Kehidupan Bernegara
Dalam konteks pendidikan, Lambang Negara Indonesia menjadi bagian penting dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Melalui pemahaman lambang negara, peserta didik diajak mengenal nilai Pancasila, nasionalisme, dan tanggung jawab sebagai warga negara.
Dalam kehidupan bernegara, lambang negara berfungsi sebagai pemersatu bangsa dan simbol legitimasi kekuasaan negara. Keberadaan lambang negara memperkuat rasa kebangsaan serta mempertegas identitas Indonesia sebagai negara berdaulat.
Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila, merupakan simbol kenegaraan yang sarat nilai filosofis, historis, dan ideologis. Setiap unsur di dalamnya dirancang untuk merepresentasikan Pancasila, persatuan nasional, dan semangat kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dengan memahami Lambang Negara Indonesia secara utuh dan mendalam, masyarakat tidak hanya mengenal simbol visual negara, tetapi juga menghayati nilai-nilai kebangsaan yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.