Civil Law: Sistem Hukum yang Berbasis Kodifikasi
Wamena - Bayangkan dua hakim dari dunia yang berbeda. Yang satu, di London, bebas menciptakan hukum baru lewat putusannya.
Yang lain, di Jakarta, wajib setia pada aturan yang sudah tercetak rapi dalam kitab undang-undang. Perbedaan fundamental inilah yang memisahkan Common Law dan Civil Law.
Sistem Civil Law, dengan akar Romawi Kuno dan modernisasi ala Napoleon, adalah arsitektur hukum yang dianut oleh mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia.
Lantas, apa keunggulan sistem "hukum tertulis" ini hingga begitu dominan? Dan benarkah ia lebih unggul dalam menciptakan keadilan? Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluknya.
Pengertian Civil Law
Civil Law adalah salah satu sistem hukum terbesar di dunia yang mengatur kehidupan masyarakat melalui hukum tertulis (kodifikasi). Sistem ini berkembang dari tradisi hukum Romawi dan menjadi dasar hukum di banyak negara Eropa Kontinental, Amerika Latin, Asia, hingga Afrika
Civil Law sering dipahami sebagai kebalikan dari Common Law, namun keduanya memiliki tujuan yang sama mewujudkan keadilan dan ketertiban hanya saja dengan pendekatan yang berbeda.
Baca juga: Hak Dasar Manusia: Fondasi Demokrasi dan Partisipasi Politik
Asal-Usul Civil Law
Akar Civil Law berasal dari Hukum Romawi Kuno, terutama Corpus Juris Civilis yang disusun pada masa Kaisar Justinianus (abad ke-6 M). Pada perkembangannya, Prancis dan Jerman menjadi pusat modernisasi Civil Law melalui:
1. Code Civil (Napoleon) – Prancis
Diterbitkan tahun 1804, berisi aturan tentang: hukum keluarga, kontrak, hak milik, kewarisan. Kodifikasi ini sangat berpengaruh dan menjadi model bagi banyak negara.
2. Bürgerliches Gesetzbuch (BGB) – Jerman
Diterbitkan tahun 1900, lebih sistematis dan filosofis. BGB menjadi salah satu rujukan Civil Law paling komprehensif.
Ciri-Ciri Utama Sistem Civil Law
1. Hukum Tertulis sebagai Sumber Utama
Civil Law menempatkan kitab undang-undang (code) sebagai sumber paling tinggi, seperti: KUH Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana (meski pidana bukan bagian dari Civil Law secara khusus). Hakim dalam sistem ini harus mengacu pada isi undang-undang secara eksplisit.
2. Peran Hakim yang Terbatas
Berbeda dengan Common Law yang memberi hakim ruang luas untuk menciptakan hukum, Civil Law membuat hakim lebih sebagai penafsir undang-undang, bukan pencipta preseden.
3. Kodifikasi Menyeluruh
Aturan disusun secara sistematis dalam bentuk kodifikasi, sehingga memudahkan konsistensi, kepastian hukum, dan prediktabilitas.
4. Logika Hukum yang Bersifat Deduktif
Proses pengambilan keputusan bergerak dari aturan umum menjadi kasus spesifik.
Civil Law mencakup:
1. Hukum Perdata: kontrak, perbuatan melawan hukum, hak milik, kewarisan, keluarga
2. Hukum Dagang : perniagaan, perusahaan, surat berharga, dan transaksi bisnis.
3. Hukum Acara Perdata: mengatur tata cara beracara di pengadilan, pembuktian, serta eksekusi putusan.
Keunggulan Sistem Civil Law
a. Kepastian hukum tinggi
b. Mudah diakses
c. Konsistensi penegakan hukum
Kelemahan Sistem Civil Law
a. Kurang fleksibel. Aturan tertulis terkadang tidak cepat beradaptasi dengan perkembangan sosial modern.
b. Peran hakim terbatas. Hakim tidak bisa menciptakan hukum baru meskipun ada kekosongan hukum.
c. Ketergantungan pada legislator. Perubahan hukum menunggu pembaruan dari pembuat undang-undang (legislatif).
Civil Law di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law System). Oleh sebab itu di Indonesia yang mengikuti sistem Civil Law akan mempengaruhi dalam putusan hakimnya.
Putusan hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan dalam perkara yang sama, karena di Indonesia tidak menganut asas “precedent”. Indonesia menganut sistem Civil Law karena pengaruh kolonial Belanda. Warisan hukum tersebut meliputi:
a. KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)
b. KUH Dagang (Wetboek van Koophandel)
Saat menangani perkara, hakim akan mencari rujukan peraturan yang sesuai dan bersifat aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti, sehingga diperoleh gambaran lengkap dari perkara.
Namun demikian, dalam praktik dan perkembangannya, peradilan di Indonesia tidak lagi sepenuhnya menerapkan sistem Civil Law karena telah memiliki dan menerapkan beberapa karakteristik yang identik dengan sistem Common Law.
Baca juga: Mengenal Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia
Civil Law dan Common Law: Perbandingan Dua Tradisi Hukum Besar Dunia
Setelah memahami karakteristik sistem Civil Law, penting untuk melihat bagaimana sistem ini berbeda dengan common Law. Common Law berasal dari Bahasa Prancis “commune-ley” yang merujuk pada adat kebiasaan (custom) di Inggris yang tidak tertulis dan kemudian diperkuat melalui keputusan hakim yang akhirnya memiliki kekuatan hukum.
Common Law berasal dari Bahasa Prancis “commune-ley” yang merujuk pada adat kebiasaan (custom) di Inggris yang tidak tertulis dan yang melalui keputusan-keputusan hakim dijadikan berkekuatan hukum.
Ciri atau karakteristik dari sistem Common Law adalah:
1. Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama.
2. Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden.
3. Adversary System dalam proses peradilan.
Adapun ketiga karakteristik sistem Common Law sebagai berikut:
1. Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum Utama
Ada 2 (dua) alasan mengapa yurisprudensi dianut dalam sistem Common Law, yaitu:
a. Alasan Psikologis
Alasannya adalah karena setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara, ia cenderung sedapat-dapatnya mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk kepada putusan yang telah ada sebelumnya dari pada memikul tanggung jawab atas putusan yang dibuatnya sendiri.
b. Alasan Praktis
Diharapkan adanya putusan yang seragam karena sering diungkapkan bahwa hukum harus mempunyai kepastian dari pada menonjolkan keadilan pada setiap kasus konkrit.
Selain itu menurut sistem Common Law, menempatkan undang-undang sebagai acuan utama merupakan suatu perbuatan yang berbahaya karena aturan undang-undang itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan.
Lagi pula dengan berjalannya waktu, undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, sehingga memerlukan interpretasi pengadilan.
2. Dianutnya Doktrin Stare Decisis/Preseden
Doktrin ini secara substansial mengandung makna bahwa hakim terikat untuk mengikuti dan/atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa.
Meskipun dalam sistem Common Law dikatakan berlaku doktrin Stare Decisis, akan tetapi bukan berarti tidak dimungkinkan adanya penyimpangan oleh pengadilan, dengan melakukan distinguishing, asalkan saja pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu. Artinya, fakta yang baru itu dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai preseden.
3. Adversary System dalam Proses Peradilan
Dalam sistem Common Law ini, kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing menggunakan pengacaranya untuk berhadapan di depan hakim.
Para pihak masing-masing menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan.
Jadi yang berperkara merupakan lawan antarsatu dengan yang lainnya yang dipimpin oleh pengacaranya masing-masing.
Dalam perkembangannya tidak ada larangan suatu negara untuk menggunakan dua sistem hukum sekaligus.
Sebab, sistem hukum merupakan suatu sistem terbuka yang harus mampu mengakomodasi perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Daftar Pustaka / Sumber Literasi
1. Samudera, Erlangga Afga & Hartono, Kevin. Perbandingan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law dalam Penerapan Yurisprudensi. Universitas Airlangga.
2. JDIH Kabupaten Sukoharjo. “Mengenal Perbedaan Civil Law dan Common Law.” Diakses dari: https://jdih.sukoharjokab.go.id/berita/detail/mengenal-perbedaan-civil-law-dan-common-law